Kamis, 12 Desember 2013

EMBOLI PADA PERSALINAN YANG BERESIKO TINGGI




Kejadian emboli atau kondisi penyumbatan pembuluh darah di beberapa titik organ vital manusia tengah hangat diperbincangkan karena kasus Dr Dewa Ayu Sasiary Prawani yang menyebabkan kematian pasiennya. Padahal, seluruh proses persalinan memang telah membawa resiko ini. Menurut ahli kandungan Departemen Kandungan dan Kebidanan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Dr Yudianto Budi S SpOG(K), peluang hidup korban emboli memang sangat kecil, tidak sampai 10 persen. Korban yang selamat pun hampir 70 persen akan mengalami gangguan syaraf. Namun sayangnya, emboli bukan gangguan yang bisa diprediksi atau dicegah.

Saking alaminya terjadi, kejadian ini bisa disebut sebagai kondisi reaksi tubuh yang natural. Hanya saja, baik ibu yang akan melahirkan maupun tim medis persalinan, harus mewaspadai faktor risiko yang menimbulkan peluang terjadinya emboli.

Faktor resiko tersebut adalah kelahiran caesar, persalinan dengan instrumen atau induksi, pendarahan, gawat janin, serta usia ibu yang suda tua. Kesimpulan tadi berdasarkan riset yang menyatakan emboli lebih sering terjadi pada kondisi persalinan tersebut. Namun, bukan berarti ibu yang menjalani persalinan normal berpeluang lebih kecil mengalami emboli.

Pasalnya, dalam setiap proses persalinan pasti terdapat kondisi di mana pembuluh arteri dan vena yang pecah. Saat itulah, air ketuban bisa masuk, bahkan sel lemak bayi, rambut bayi, dan feses bayi.

Kasus emboli di Indonesia terjadi pada satu dari 10 ribu persalinan. Terdapat dua jenis emboli pada ibu melahirkan, yaitu emboli udara dan emboli air ketuban. Baik persalinan normal maupun caesar juga beresiko terjadi emboli. Tanda awal emboli jika ibu hamil atau yang bakal bersalin mengalami sesak nafas, tekanan darah menurun, dan mendadak hilang kesadaran.

Tidak hanya udara, air ketuban bahkan juga bisa menjadi musuh bagi ibu hamil. Air ketuban dapat masuk ke dalam pembuluh darah ibu hamil hingga menciptakan emboli yang menghalangi sirkulasi. Akibatnya, terjadi gagal jantung, gagal nafas, hingga pendarahan. 

Sama seperti halnya emboli udara, emboli air ketuban memiliki angka prevalensi 1 dalam 80 ribu persalinan. Emboli air ketuban awalnya diketahui terjadi pada beberapa wanita yang meninggal sesaat setelah persalinan. Setelah diotopsi, pada tubuhnya ditemukan sel gepeng yang menyebabkan tubuh ibu mengalami reaksi berupa peradangan seperti alergi terhadap antibiotik.

Selain itu, ibu juga mengalami gawat nafas jika sel gepeng dan musin masuk ke pembuluh darah di paru-paru, serta mengalami pendarahan dan lumpuh saat sel gepeng dan musin masuk ke pembuluh darah di jantung. 

Pada ibu, resiko kematian bisa mencapai 80 persen. Secara teoritis, emboli air ketuban bisa mengakibatkan dampak fatal sebab ada benda asing yang masuk melalui sistem pertahanan tubuh ibu sehingga mengganggu sistem sirkulasi darah di paru-paru dan jantung.

Emboli air ketuban tersebut bersifat katastropik karena belum bisa ditangani dengan baik serta tak bisa diprediksi. Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya penatalaksanaan yang spesifik. Emboli udara menimbulkan adanya udara yang masuk terhambat dan aliran darah berhenti. Sementara, emboli air ketuban terjadi saat air ketuban yang terdiri dari lemak, protein, unsur elektrolit, dan garam menimbulkan efek alergi.

Reaksi emboli terjadi paling lama 48 jam dan paling cepat 30 menit usai kelahiran. Lamanya reaksi timbul bergantung pada luka (inflamasi) yang muncul akibat hambatan sirkulasi. Semakin besar inflamasi yang timbul, maka reaksi makin cepat, inflamasi ini diakibatkan antigen bayi yang masuk ke dalam sirkulasi maternal.

Gejala emboli lebih sering ditemukan oleh dokter anestesi atau bedah yang melakukan operasi. Keadaan paling jelas yang menunjukkan terjadinya emboli adalah kadar saturasi oksigen yang sangat rendah pada tubuh pasien. Sebagian besar pasien biasanya akan mengalami sesak nafas karena terjadi penyumbatan aliran darah dan paru.

Pada kondisi ini biasanya dokter akan melakukan resuitasi oksigen untuk menyelamatkan ibu. Kondisi gawat janin juga menuntut bayi untuk segera diselamatkan. Dalam mayoritas kasus emboli, bayi bisa diselamatkan, walau tidak dengan ibunya.

Bayi dengan ibu mengalami emboli masih bisa bertahan karena jenis hemoglobin (Hb) yang dimiliki. Bayi memiliki Hb F lebih banyak dibanding Hb A yang umumnya dipunyai orang dewasa. Hb F mampu mengikat oksigen lebih lama dibanding Hb A. Dengan kondisi ini, bayi mampu bertahan hingga 18 jam kemudian, walau ibunya tak lagi bernapas.

Mencermati kemungkinan reaksi emboli yang alami, perlu ada kerja sama yang baik antara pasien dan semua sistem rumah sakit. Tim medis, harus melakukan tindakan dengan segera memasang infus, memberi obat-obat vasoaktif, dan memastikan pasien harus dirawat di ICU.

Ketika terjadi emboli, tenaga kesehatan harus melakukan bantuan pernapasan dengan bantuan alat pompa, tergantung arah larinya sumbatan, apakah ke paru, limpa, ataukah ke jantungnya.


Kurir ASI Jakarta by amura courier : solusi cerdas untuk wanita karir dan ibu menyusui. Tlp & sms : 085695138867




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

fixedbanner