Banyak calon ibu yang merasa lega begitu melewati trimester pertama dan kedua. Apalagi, ketika rasa sakit akibat pembesaran rahim, mual, dan sesak sudah terasa berkurang. Namun sebetulnya, pada trimester terakhir merupakan periode paling penting dan rawan bagi keselamatan ibu dan bayinya. Di trimester ketiga ini terkadang muncul risiko yang sangat besar. Jika pemicunya tidak ditangani dengan baik, bukan mustahil dapat berujung pada kematian ibu. Misalnya, jika terjadi pendarahan, preeklampsia, atau infeksi.
Sebagian besar
kasus kematian ibu saat proses persalinan dipicu oleh pendarahan. Kondisi ini
dapat menyebabkan kematian ibu dengan sangat cepat. Jika terjadi pendarahan,
biasanya dalam satu menit darah yang keluar bisa mencapai 500 cc, sedangkan darah
dalam tubuh hanya lima liter. Ini berarti hanya dibutuhkan waktu 10 menit
hingga darah dalam tubuh kita habis.
Pendarahan saat persalinan paling sering terjadi akibat plasenta menutupi jalan lahir (plasenta previa) dan plasenta lepas dari dinding rahim (solutio plasentae). Dalam kasus plasenta previa, plasenta yang seharusnya menempel di bagian rahim malah lekat di mulut rahim. Ketika terjadi pembukaan, maka pembuluh darah akan sobek dan darah mengucur deras sementara bayi masih di dalam rahim. Tidak ada cara untuk mencegah terjadinya plasenta previa. Semua itu nasib, tetapi bisa diidentifikasi dengan ultrasonografi (USG) di usia kehamilan tiga sampai empat bulan.
Untuk itu, amat disarankan agar para ibu hamil rutin memeriksakan kehamilannya. Faktanya, ibu hamil kebanyakan hanya rajin memeriksakan kandungannya saat kehamilam pertama. Begitu hamil lagi, mereka malas check up. Padahal, resiko komplikasi justru meningkat bagi perempuan yang sering hamil.
Sementara itu, solusio plasentae biasanya terjadi karena trauma seperti terjatuh atau mengalami kekerasan. Kondisi ini berbahaya karena akan memicu pendarahan dan kematian bagi ibu maupun janin. Selain kedua kondisi tersebut, pendarahan pasca persalinan juga kerap terjadi. Makin sering melahirkan, risiko pendarahan menjadi semakin tinggi.
Rahim diibaratkan seperti karet. Jika sering digunakan, rahim makin sering melar dan kempes, lalu pada akhirnya akan sulit menyusut kembali. Inilah yang menyebabkan pendarahan pasca persalinan. Jika sang ibu mengalami kurang gizi, anemia, atau kurang tidur, itu akan memperburuk kondisi tersebut.
Anemia adalah kondisi ketika sel darah merah berkurang. Sebagian masyarakat masih salah kaprah menilai bahwa anemia adalah tekanan darah rendah. Tekanan darah rendah saat hamil justru tidak masalah. Mengkonsumsi tablet penambah darah akan percuma jika tidak diimbangi makanan bergizi. Beberapa tanda anemia yakni mata dan kulit pucat, mudah lemas, dan deg degan.
Risiko pendarahan pasca persalinan dapat diturunkan dengan melakukan perbaikan kondisi fisik, termasuk kecukupan zat gizi ibu saat hamil. Hindari obesitas, cukupilah protein dan asam folat. Tubuh juga membutuhkan vitamin C dan mineral. Beberapa makanan yang disarankan di antaranya hati, daging, ayam, ikan, telur, kacang-kacangan, sayur-sayuran hijau, alpukat, dan brokoli.
Selain pendarahan, preerklampsia juga menjadi pembunuh diam-diam ibu hamil. Preeklampsia biasanya dialami oleh ibu bertubuh gemuk (terlalu banyak lemak) dan kekurangan protein. Tanda-tanda preeklampsia di antaranya tekanan darah tiba-tiba meninggi dan terjadi kejang-kejang. Preeklampsia dapat dideteksi saat usia kandungan tujuh bulan ke atas. Jadi, jangan pernah melewatkan pemeriksaan kehamilan di trimester ketiga karena sangat penting bagi ibu dan juga bayi yang akan dilahirkan.
Kurir ASI Jakarta by amura courier : solusi cerdas untuk wanita karir dan ibu menyusui. Tlp & sms : 085695138867
Tidak ada komentar:
Posting Komentar